Hidup adalah kumpulan perjalanan anak manusia. Ia mewariskan
sejarah, peradaban dan nilai. Pembentuk semua itu adalah kemampuan manusia
menangkap hukum-hukum yang berlaku di alam ini. Kemampuan memahami kumpulan
hukum-hukum itu dimaknai sebagai ilmu pengetahuan, yang berguna untuk
kemaslahatan dan menyeleraskan kebutuhan manusia sesuai dengan roda jaman. Dengan
Ilmu Pengetahuan, manusia bekerja dan berdampingan dengan alam. Hukum alam itu
sendiri konsisten dan bisa dirumuskan. Sehingga hidup yang selaras dengan alam
adalah hidup yang konsisten. Manusia terbatas dalam banyak hal dan takkan mampu
melawan alam. Ia hanya bisa mengikutinya, memanfaatkannya dan memahaminya dalam
sebanyak-banyaknya aspek. Manusia takkan mampu melawan hukum-hukum alam. Karena
hukum alam adalah haq. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar), bukan bathil (palsu) (QS Al-Nahl [16]: 3.
Meski demikian, kemampuan menangkap hukum-hukum alam itu
selalu dinamis. Apa yang menjadi rumusan hukum pengetahuan hari ini boleh jadi
berbeda dengan temuan manusia di masa depan. Untuk itulah sesungguhnya kenapa manusia
sepanjang masa tidak pernah berhenti belajar dan mengamati alam. Apa yang
dulunya hanya bisa digambarkan secara mitologi, dengan kemampuannya, manusia
bisa mengidentifikasinya secara logic. Atau pun kebenaran hari ini bisa jadi akan
terkoreksi dengan kebenaran baru yang
menjadi temuan manusia masa depan.
Singkatnya, dinamika ilmu pengetahuan manusia tidak pernah
final. Ia bersifat relatif dan dinamis sepanjang masa. Dalam perspektif agama,
tak ada kebenaran absolut kecuali dari Allah “Kebenaran itu adalah dari
Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. Q.S.
2 : 147. Maka belajarlah kita secara terus menerus, atau bersekolah-lah kita
sesuai dengan masa di mana kita berada. Bahkan agama mewajibkan kita untuk
menuntut ilmu dari ayunan sampai liang lahat. “Carilah ilmu itu sejak dari
ayunan sampai masuk ke liang lahat”(HR. Muslim)
Rumusan kebenaran
yang menjadi warisan pendahulu kita selalu menjadi titik awal kita melanjutkan
estafeta roda pengetahuan. Tidak boleh berhenti atau mandeg. Kita “bertaqlid”
atasnya dengan kesadaran apresiasi terhadap karya pendahulu kita. Namun, jika
kita menemukan adanya kebenaran baru untuk mengoreksi kebenaran masa lampau,
atau kita mampu menemukan kebenaran yang lebih kredibel; maka itulah yang
disebut hasil ijtihad Ilmu Pengetahuan manusia. Seseorang yang ingin
menciptakan sepeda motor hari ini misalnya, tidak perlu lagi belajar tentang cara
membuat roda, cara mendapatkan bahan bakar dari perut bumi atau teori dasar
tentang listrik. Cukup dia mengembangkan apa yang sudah ada. Atau kalau mampu,
membuat sepeda motor baru yang tak memerlukan bahan bakar minyak lagi. Inilah yang
disebut akumulasi estafet pengetahuan sepanjang masa yang dengannya melahirkan peradaban modrn seperti yang kita saksikan saat ini.
Secara epistemologis, ilmu pengetahuan adalah akumulasi
temuan manusia yang terwariskan dari generasi ke generasi, dari jaman ke jaman.
Maka, se-tradisonal apapun pandangan kita terhadap sebuah peradaban masa
lampau; ia tetap menjadi persambungan atau bagian tak terpisahkan dari apa yang
dicapai ilmu pengetahuan manusia saat ini. Apresiasi kita terhadap apa yang diwariskan
para pendahulu kita kiranya akan menghasilkan kesadaran tentang sejarah,
identitas dan keterbatasan manusia. Dari situ akan muncul potensi mengenal diri
bahwa manusia adalah pejalan sepanjang masa. Bermakna tidaknya jalan hidupnya
tergantung kemampuannya menemukan posisi dirinya di tengah kedahsyatan alam
semesta. Jika ingin mengenal Tuhanmu, maka kenalilah dirimu. Man arafah nafsah faqod arafah nafsah.
Manusia yang memahami posisi keterbatasannya dalam pusaran hukum alam
akan mengetahui bahwa ada super intelejensia di balik ini semua. Ada kekuatan
transenden yang mengatur semuanya. Bumi, matahari, bintang-bintang, pohon
bahkan dunia mikrokosmos yang tidak kasat mata. Pada saat demikian, kearifan
tertinggi adalah mengetahui bahwa kita sesungguhnya tidak tahu apa-apa, tapi selalu
perlu mempelajari semua yang ada. Karena eksistensi manusia adalah belajar,
bersekolah, membaca lalu pulang.
Maka, mari meneruskan perjalanan.
3 komentar:
Terlalu dalam. Berat..
sepakat, ini terlalu dalam. Butuh pembacaan yang lambat dan lamat.
Sebuah kajian manusia sepanjang masa. Seperti kata Socrates, pada akhirnya, yang kutahu adalah saya tidak tahu apa-apa...
Posting Komentar