07 Maret, 2015

JALAN PANJANG (2)






Hidup adalah kumpulan perjalanan anak manusia. Ia mewariskan sejarah, peradaban dan nilai. Pembentuk semua itu adalah kemampuan manusia menangkap hukum-hukum yang berlaku di alam ini. Kemampuan memahami kumpulan hukum-hukum itu dimaknai sebagai ilmu pengetahuan, yang berguna untuk kemaslahatan dan menyeleraskan kebutuhan manusia sesuai dengan roda jaman. Dengan Ilmu Pengetahuan, manusia bekerja dan berdampingan dengan alam. Hukum alam itu sendiri konsisten dan bisa dirumuskan. Sehingga hidup yang selaras dengan alam adalah hidup yang konsisten. Manusia terbatas dalam banyak hal dan takkan mampu melawan alam. Ia hanya bisa mengikutinya, memanfaatkannya dan memahaminya dalam sebanyak-banyaknya aspek. Manusia takkan mampu melawan hukum-hukum alam. Karena hukum alam adalah haq. Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar), bukan bathil (palsu) (QS Al-Nahl [16]: 3.

Meski demikian, kemampuan menangkap hukum-hukum alam itu selalu dinamis. Apa yang menjadi rumusan hukum pengetahuan hari ini boleh jadi berbeda dengan temuan manusia di masa depan. Untuk itulah sesungguhnya kenapa manusia sepanjang masa tidak pernah berhenti belajar dan mengamati alam. Apa yang dulunya hanya bisa digambarkan secara mitologi, dengan kemampuannya, manusia bisa mengidentifikasinya secara logic. Atau pun kebenaran hari ini bisa jadi akan terkoreksi  dengan kebenaran baru yang menjadi temuan manusia masa depan.



Singkatnya, dinamika ilmu pengetahuan manusia tidak pernah final. Ia bersifat relatif dan dinamis sepanjang masa. Dalam perspektif agama, tak ada kebenaran absolut kecuali dari Allah “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. Q.S. 2 : 147. Maka belajarlah kita secara terus menerus, atau bersekolah-lah kita sesuai dengan masa di mana kita berada. Bahkan agama mewajibkan kita untuk menuntut ilmu dari ayunan sampai liang lahat. “Carilah ilmu itu sejak dari ayunan sampai masuk ke liang lahat”(HR. Muslim)

Rumusan kebenaran yang menjadi warisan pendahulu kita selalu menjadi titik awal kita melanjutkan estafeta roda pengetahuan. Tidak boleh berhenti atau mandeg. Kita “bertaqlid” atasnya dengan kesadaran apresiasi terhadap karya pendahulu kita. Namun, jika kita menemukan adanya kebenaran baru untuk mengoreksi kebenaran masa lampau, atau kita mampu menemukan kebenaran yang lebih kredibel; maka itulah yang disebut hasil ijtihad Ilmu Pengetahuan manusia. Seseorang yang ingin menciptakan sepeda motor hari ini misalnya, tidak perlu lagi belajar tentang cara membuat roda, cara mendapatkan bahan bakar dari perut bumi atau teori dasar tentang listrik. Cukup dia mengembangkan apa yang sudah ada. Atau kalau mampu, membuat sepeda motor baru yang tak memerlukan bahan bakar minyak lagi. Inilah yang disebut akumulasi estafet pengetahuan sepanjang masa yang dengannya melahirkan peradaban modrn seperti yang kita saksikan saat ini.

Secara epistemologis, ilmu pengetahuan adalah akumulasi temuan manusia yang terwariskan dari generasi ke generasi, dari jaman ke jaman. Maka, se-tradisonal apapun pandangan kita terhadap sebuah peradaban masa lampau; ia tetap menjadi persambungan atau bagian tak terpisahkan dari apa yang dicapai ilmu pengetahuan manusia saat ini. Apresiasi kita terhadap apa yang diwariskan para pendahulu kita kiranya akan menghasilkan kesadaran tentang sejarah, identitas dan keterbatasan manusia. Dari situ akan muncul potensi mengenal diri bahwa manusia adalah pejalan sepanjang masa. Bermakna tidaknya jalan hidupnya tergantung kemampuannya menemukan posisi dirinya di tengah kedahsyatan alam semesta. Jika ingin mengenal Tuhanmu, maka kenalilah dirimu. Man arafah nafsah faqod arafah nafsah. 

Manusia yang memahami posisi keterbatasannya dalam pusaran hukum alam akan mengetahui bahwa ada super intelejensia di balik ini semua. Ada kekuatan transenden yang mengatur semuanya. Bumi, matahari, bintang-bintang, pohon bahkan dunia mikrokosmos yang tidak kasat mata. Pada saat demikian, kearifan tertinggi adalah mengetahui bahwa kita sesungguhnya tidak tahu apa-apa, tapi selalu perlu mempelajari semua yang ada. Karena eksistensi manusia adalah belajar, bersekolah, membaca lalu pulang.

Maka, mari meneruskan perjalanan.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Terlalu dalam. Berat..

Anonim mengatakan...

sepakat, ini terlalu dalam. Butuh pembacaan yang lambat dan lamat.

Anonim mengatakan...

Sebuah kajian manusia sepanjang masa. Seperti kata Socrates, pada akhirnya, yang kutahu adalah saya tidak tahu apa-apa...