SAAT HIDUP MULAI MEMBOSANKAN
Setelah demikian lama saya tidak masuk ke blog ini, saya merasa rindu dengannya. Meski pun saya tahu hanya orang yang tersesat secara kebetulan yang akan membacanya, tapi biarlah seperti itu. Kalau perlu biarlah menjadi konsumsi saya sendiri setiap kali saya membutuhkannya. Blog ini saya ibaratkan sebuah gua di pojok halaman belakang. Tempat saya sesekali mengasoh dan "sembunyi" di dalamnya. Tempat saya 'curhat' ke dindingnya yang bisu.
Artikel ini saya dapatkan secara tidak sengaja habis subuh tadi. Begitu banyak hal yg saya lakukan di dunia maya sampai jam 10 pagi ini. Saya bahkan belum mandi dan yang lebih penting saya telah menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam membaca semua hal dan apa saja yang saya temui di dalamnya. Tiba-tiba saya menemukan diri saya di berbagai hal yang berseliwerang itu. Saya menemukan diri saya adalah rangkaian dari berbagai dimensi yang berserakan dalam pembahasan tentang manusia. Dari semua itu, Artikel ini salah satu yang membuat saya merenung dan mencoba merumus ulang pendapat-pendapat saya tentang hidup yang makin keras ini. Saya merasa perlu membagikannya karena boleh jadi ia relevan dengan kehidupan siapa pun di antara kita. Termasuk juga saya tentunya.
***
Seorang pria mendatangi Sang Guru Kehidupan, “Guru, saya sudah bosan hidup.
Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau.
Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”
Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”
“Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”
Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan,
“Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu
alergi terhadap kehidupan.”
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan.
Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir
terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat,
kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang
penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama
kehidupan membuat kita sakit.
Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal
berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah.
Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang
langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat
kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal,
kecewa dan menderita.
“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian sang Guru.
“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang guru.
“Jadi, kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?”
“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”
“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah
botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan
jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”
Giliran dia menjadi bingung. Setiap Guru yang ia datangi selama ini
selalu berupaya untuk memberikannya semangat untuk hidup. Yang satu ini
aneh. Ia bahkan menawarkan racun. Tetapi, karena ia memang sudah
betul-betul jenuh, ia menerimanya dengan senang hati. Pulang kerumah, ia
langsung menghabiskan setengah botol racun yang disebut “obat” oleh
Guru edan itu. Dan, ia merasakan ketenangan sebagaimana tidak pernah
ia rasakan sebelumnya.
Begitu rileks, begitu santai!
Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari
segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama
keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan
selama beberapa tahun terakhir. Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin
meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya
santai banget!
Sebelum tidur, ia mencium kening istrinya dan membisiki di kupingnya,
“Sayang, aku mencintaimu. “Karena malam itu adalah malam terakhir, ia
ingin meninggalkan kenangan manis! Esoknya bangun tidur, ia membuka
jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan
tubuhnya. Dan ia tergoda untuk melakukan jalan pagi. Pulang kerumah
setengah jam kemudian, ia menemukan istrinya masih tertidur. Tanpa
membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk
dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi
terakhir,ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Sang istripun merasa aneh sekali Selama ini, mungkin aku salah. “Maafkan aku, sayang.”
Di kantor, ia menyapa setiap orang, bersalaman dengan setiap orang.
Stafnya pun bingung, “Hari ini, Boss kita kok aneh ya?” Dan sikap mereka
pun langsung berubah. Mereka pun menjadi lembut. Karena siang itu
adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis!
Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan
lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap pendapat-pendapat yang
berbeda.
Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang kerumah
jam 5 sore, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda depan.
Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya, “Sayang,
sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan
kamu.” Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, “Ayah, maafkan kami semua.
Selama ini, Ayah selalu stres karena perilaku kami.”
Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Tiba-tiba, hidup
menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi
bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum, sore sebelumnya?
Ia mendatangi sang Guru lagi.
Melihat wajah pria itu, rupanya sang Guru langsung mengetahui apa
yang telah terjadi, “Buang saja botol itu. Isinya air biasa. Kau sudah
sembuh, Apa bila kau hidup dalam kekinian, apabila kau hidup dengan
kesadaran bahwa maut dapat menjemputmu kapan saja, maka kau akan
menikmati setiap detik kehidupan. Leburkan egomu, keangkuhanmu,
kesombonganmu. Jadilah lembut, selembut air. Dan mengalirlah bersama
sungai kehidupan. Kau tidak akan jenuh, tidak akan bosan. Kau akan
merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah kunci kebahagiaan. Itulah
jalan menuju ketenangan.”
Pria itu mengucapkan terima kasih dan menyalami Sang Guru, lalu
pulang ke rumah, untuk mengulangi pengalaman malam sebelumnya. Konon, ia
masih mengalir terus. Ia tidak pernah lupa hidup dalam kekinian. Itulah
sebabnya, ia selalu bahagia, selalu tenang, selalu HIDUP!!!
Hidup…bukanlah merupakan suatu beban yang harus dipikul, tapi merupakan suatu anugerah untuk dinikmati.
Billahi fie sabilil haq
1 komentar:
Baru saya baca dan memang betul, terasa sangat menyejukkan. Tetaplah menulis untuk terus menginspirasi lebih banyak orang lagi.
Posting Komentar