11 Maret, 2017

THERMODINAMIKA KEHIDUPAN

Tulisan singkat ini terinspirasi dari hasil spektakuler revolusi industri:  mesin.  Mesin adalah  awal dari efisiensi besar-besaran yang menggantikan fungsi tenaga manusia dengan produksi yang berlipat-lipat. Melalui mesin, yang mengubah energi menjadi usaha mekanis, capaian manusia dalam bidang ekonomi, tekhnologi dan turunan-turunannya mengalami lompatan besar. Saya tidak akan mengupas lebih jauh tentang dampak efisiensi sebuah mesin. Saya ingin mengambil pesan dari kerja-kerja sebuah mesin. Pada sebuah mesin, panas diubah menjadi tenaga mekanis yang menggerakkan piston, silinder dan bagian-bagian lainnya. Terus seperti itu dan teratur. Jika kita masuk lebih dalam, energi yang bekerja itu pada awalnya besar namun akan berangsur-angsur mengecil dan habis seiring dengan waktu. Bersamaan habisnya energi, berangsur-angsur mesin juga mengalami aus, dan bagian-bagiannya akan rusak sehingga bekerja makin tidak efisien. Kerja mesin yang teratur berganti menjadi kerja yang tidak stabil (tidak teratur). Ini disebut entropi. 
Ketika sebuah sistem kehilangan energi, ia sekaligus akan kehilangan keteraturan dan berganti ketidakaturan. Ketidakaturan semakin bertambah dan perlahan mesin rusak / mati. Inilah hukum Thermodinamika kedua.

Alam ini adalah sebuah mesin yang punya mekanisme. Karena dia mesin, maka berdasarkan hukum di atas, satu saat dia akan mengalami ketidakteraturan pula: acak, aus dan bekerja tidak efisien. Entropi-nya akan semakin membesar dan akhirnya chaos. Ini disebut oleh ilmuwan sebagai keadaan equilibrium (setimbang = nol). Kehidupan akan berhenti.Tetapi betulkah seperti itu? Betulkah hukum thermodinamika klasik itu juga berlaku pada alam semesta dengan lingkungan terbuka luas ini? ternyata tidaklah sesederhana itu. Alam, melalui proses evolusi terus menciptakan keteraturan yang makin bertambah, bertumbuh dan teratur dalam kompleksitas yang unik. Alam ini terus memperbaiki diri seiring dengan perkembangan dan bertumbuhan dalam segala dimensinya.

Maka, terjadi sesuatu yang paradoks. Evolusi kehidupan alam semesta ternyata bertentangan dengan hukum thermodinamika kedua. Ratusan tahun para ilmuwan terus berdiskusi soal ini. Akhirnya seorang ilmuwan bernama Ilya Prigogine melalui bukti-bukti matematika yang tak terbantahkan mengatakan bahwa keteraturan justru muncul dari ketidakteraturan. Kehidupan justru muncul dari entropi.

Thermodinamika tidak salah. Tapi ia hanya berlaku bagi sistem yang tertutup, yang tidak melakukan pertukaran energi dengan lingkungannya. Sementara sistem kehidupan ini selalu terbuka. Selalu melakukan pertukaran energi dengan lingkungannya. Manusia bukanlah mesin, ia secara aktif melakukan pertukaran dengan lingkungannya melalui karbon dioksida, sampah dan buangan lainnya. Mesin adalah sistem yang cenderung mendekati setimbang tapi manusia dan semua sistem hidup, jauh dari setimbang. Ia justru menjadi semakin berdayaguna karena kondisi entropi yang terus menerus dialaminya.

Maka, pesan baik dari fenomena thermodinamika kedua ini adalah semakin sering kehidupan bergoncang karena tekanan-tekanan entropi, maka semakin berpeluang kehidupan itu menjadi lebih kerkualitas. Terbukti begitu banyak temuan-temuan inovatif muncul dari percobaan-percobaan yang sebelumnya terus gagal, perusahaan-perusahaan raksasa yang ternyata awalnya pernah jatuh bangun hampir bangkrut ternyata berhasil melalui keadaan hampir chaos dan masih banyak lagi contoh lainnya. Artinya, jika kita terus menerus mengalami rasa stres yang terus menerus, itu mungkin awal dari keadaan entropis yang bisa mendorong otak lebih kreatif dan cemerlang.

Hal ini pula berlaku di organisasi dan perusahaan. Organisasi yang terus berkonflik secara produktif biasanya akan menjadi organisasi yang kuat. Sebaliknya, bagi organisasi yang adem ayem tanpa masalah biasanya akan terus menjadi organisasi yang kecil dan bahkan mati. Jika terus menerus kita berada pada situasi penuh masalah, maka jangan ragu. Itu mungkin pilihan dari Allah untuk memunculkkan entropi baru sehingga kita menjadi lebih berkualitas dan bermakna. Kita justru harus hati-hati jika hidup kita seperti tanpa masalah. Tanpa tantangan dan tanpa problematika. Itu mungkin pertanda kita menjadi seperti mesin dengan sistem yang tertutup, sistem yang tidak melakukan interaksi dengan lingkungan. Sebuah pertanda datangnya masa stagnan alias game over. 

Jadi, mulai kini, terus guncangkan akal dan rasa stres kita. Supaya kita terbiasa dengan sistem kehidupan yang terbuka dan terus berinteraksi dengan lingkungan kehidupan sekitar. Semakin sering diguncang, maka otak akan semakin berkembang. Sebaliknya sebuah otak yang jarang "dilatih" dengan masalah-masalah yang kompleks biasanya menjadi melemah dan mengkerut dalam memahami seluruh tantangan kehidupan. 
Selamat berpikir keras.

"Aku berpikir maka aku ada, __cogito ergo sum. 
(Descartes, filsuf Perancis).

23 November, 2016

SAAT HIDUP MULAI MEMBOSANKAN

Setelah demikian lama saya tidak masuk ke blog ini, saya merasa rindu dengannya. Meski pun saya tahu hanya orang yang tersesat secara kebetulan yang akan membacanya, tapi biarlah seperti itu. Kalau perlu biarlah menjadi konsumsi saya sendiri setiap kali saya membutuhkannya. Blog ini saya ibaratkan sebuah gua di pojok halaman belakang. Tempat saya sesekali mengasoh dan "sembunyi" di dalamnya. Tempat saya 'curhat' ke dindingnya yang bisu.

Artikel ini saya dapatkan secara tidak sengaja habis subuh tadi. Begitu banyak hal yg saya lakukan di dunia maya sampai jam 10 pagi ini. Saya bahkan belum mandi dan yang lebih penting saya telah menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam membaca semua hal dan apa saja yang saya temui di dalamnya. Tiba-tiba saya menemukan diri saya di berbagai hal yang berseliwerang itu. Saya menemukan diri saya adalah rangkaian dari berbagai dimensi yang berserakan dalam pembahasan tentang manusia. Dari semua itu, Artikel ini salah satu yang membuat saya merenung dan mencoba merumus ulang pendapat-pendapat saya tentang hidup yang makin keras ini. Saya merasa perlu membagikannya karena boleh jadi ia relevan dengan kehidupan siapa pun di antara kita. Termasuk juga saya tentunya.

                                                                              ***

Seorang pria mendatangi Sang Guru Kehidupan, “Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”

Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”

“Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian sang Guru.

“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang guru.

“Jadi, kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?” 

“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”

“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”