Prolog

Dikisahkan, seorang petani bermaksud menjual sekarung beras ke kota. Ketika sekarung beras itu dinaikkan ke punggung kudanya, karung itu selalu terjatuh. Setelah berpikir keras, ia mengisi satu karung lagi dengan pasir. Ia merasa puas dan bahagia karena sudah menemukan pemecahan yang menakjubkan. Kini, kedua karung itu bertengger di atas punggung kuda dalam keadaan setimbang.

Di pertengahan jalan, ia berjumpa dengan seorang yang tampaknya miskin. Tubuhnya dekil, pakaiannya lusuh dan tidak bersepatu. Ketika duduk bersama, beristirahat, sang petani mendapatkan bahwa kawan yang miskin itu ternyata adalah seorang yang sangat bijak. Ia mengetahui banyak hal. Ia mengenal tokoh-tokoh besar, mengenal kota-kota besar dunia dan juga gagasan-gagasan besar. Tiada henti-hentinya petani itu takjub dengan kepintarannya. Ia menanyakan apa yang dibawa oleh kudanya yang ia jawab satu karung berisi beras dan satunya lagi pasir. "Orang bijak" itu tertawa,

"Mengapa tidak Anda bagi dua beras itu dan menyimpannya dalam dua karung, masing-masing setengahnya?"

Petani makin kagum. Ia tidak pernah sampai pada pikiran secemerlang itu.

Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak. Lantas ia bertanya apakah ia punya pekerjaan.

"Saya tidak punya rumah, sepatu atau pekerjaan. Bahkan untuk makan nanti malampun saya tidak tahu apakah saya bisa memperolehnya."

"Lalu, apa yang Anda peroleh dari semua kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang Anda miliki?" Tanya petani.

"Saya hanya mendapat kepala yang sakit dan hayalan kosong!" Jawab si pintar.

Petani kita melepaskan tali kudanya. Tergesa ia beranjak pergi: "Menjauhlah dariku. Aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung lagi dengan pasir, tapi setidaknya ketololanku telah memberikan kehidupan kepadaku!"

Kisah yang dituliskan Jalaluddin Rumi di atas relevan untuk siapa saja.  Kang Jalal pernah merasa tersindir sebagai "si bijak" di pinggir jalan yang bicara besar bertindak kecil. Yang mempertahankan gelar kecendekiaan seumur hidup hanya untuk mengobral berbagai kearifan palsu yang akhirnya berujung pada kepala yang sakit dan hayalan kosong.

Saya tentu tidak akan tersinggung sebagai si bijak yang cendekia tapi tidak mampu mendapatkan kehidupan. Saya bahkan belum sampai pada derajat untuk sekadar bisa disebut sebagai Si Penghayal Hampa atau Si Pencari yang sakit kepala.

Saya hanya seorang fakir yang ingin belajar mencari kesetimbangan beban dan pesan-pesan kehidupan yang sederhana. Saya  hanya seorang pencari teman di pinggir jalan, yang tak bersepatu namun telah mengelilingi seluruh jalan kehidupan; yang meskipun miskin tapi kaya raya dengan ide dan gagasan atau berbaju lusuh namun jiwanya dipenuhi kearifan makna dan nilai-nilai hidup.

Gagasan untuk membuat blog ini kutemukan di sebuah teras rumah seorang kawan yang anggota DPRD pada tahun 2007. Rumahnya dipenuhi fasilitas  wifi dan seabrek alat-alat teknologi yang memungkinkannya mendapatkan informasi dan kemudahan mengakses dunia dan menembus waktu. Dalam perspektif Matsnawi-nya Jalaluddin Rumi dia mungkin telah hampir secara sempurna menemukan kapitalisasi ideal antara si petani dan si cendekia di pinggir jalan. Dia mengajarkan saya membuat blog untuk pertama kalinya. Kawan saya itu bernama Andi Harun yang sampai saat tulisan ini diedit (2011) dia tetap menjadi anggota DPRD yang pintar dan mempunyai seabrek sarana untuk mendapatkan dunia.

Blog ini adalah tempat bagi saya untuk menuliskan sesuatu yang saya pungut sepanjang perjalanan sebagai petani ke kota kearifan, perjalanan tanpa henti termasuk pengembaraan pemikiran. Baik yang ringan, santai, agak serius atau mungkin juga iseng.

(Ada orang yang tidak pernah mengubah pikirannya,
itulah orang yang tidak pernah berpikir sama sekali -- Mirabeau)

Samarinda 6 Desember '07 (Editing 14 Juni 2011)