23 November, 2016

SAAT HIDUP MULAI MEMBOSANKAN

Setelah demikian lama saya tidak masuk ke blog ini, saya merasa rindu dengannya. Meski pun saya tahu hanya orang yang tersesat secara kebetulan yang akan membacanya, tapi biarlah seperti itu. Kalau perlu biarlah menjadi konsumsi saya sendiri setiap kali saya membutuhkannya. Blog ini saya ibaratkan sebuah gua di pojok halaman belakang. Tempat saya sesekali mengasoh dan "sembunyi" di dalamnya. Tempat saya 'curhat' ke dindingnya yang bisu.

Artikel ini saya dapatkan secara tidak sengaja habis subuh tadi. Begitu banyak hal yg saya lakukan di dunia maya sampai jam 10 pagi ini. Saya bahkan belum mandi dan yang lebih penting saya telah menghabiskan waktu kurang lebih 4 jam membaca semua hal dan apa saja yang saya temui di dalamnya. Tiba-tiba saya menemukan diri saya di berbagai hal yang berseliwerang itu. Saya menemukan diri saya adalah rangkaian dari berbagai dimensi yang berserakan dalam pembahasan tentang manusia. Dari semua itu, Artikel ini salah satu yang membuat saya merenung dan mencoba merumus ulang pendapat-pendapat saya tentang hidup yang makin keras ini. Saya merasa perlu membagikannya karena boleh jadi ia relevan dengan kehidupan siapa pun di antara kita. Termasuk juga saya tentunya.

                                                                              ***

Seorang pria mendatangi Sang Guru Kehidupan, “Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apapun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati.”

Sang Guru tersenyum, “Oh, kamu sakit.”

“Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati.”

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, sang Guru meneruskan, “Kamu sakit. Dan penyakitmu itu sebutannya, ‘Alergi Hidup’. Ya, kamu alergi terhadap kehidupan.”

Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hidup ini berjalan terus. Sungai kehidupan mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita, penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.

Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah-tangga, bentrokan-bentrokan kecil itu memang wajar, lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng, tidak abadi. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa dan menderita.

“Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku.” demikian sang Guru.

“Tidak Guru, tidak. Saya sudah betul-betul jenuh. Tidak, saya tidak ingin hidup.” pria itu menolak tawaran sang guru.

“Jadi, kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?” 

“Ya, memang saya sudah bosan hidup.”

“Baik, besok sore kamu akan mati. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok sore jam enam, dan jam delapan malam kau akan mati dengan tenang.”