25 Desember, 2007

Awal dari Kearifan (2 - habis)

”Itulah sebabnya pembelajaran tentang sabar menjadi penting. Pelajar sejati adalah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya untuk diri sendiri. Tanpa itu, semuanya hanya menjadi kepalsuan hampa. Sekarang, pulanglah ke rumah dan berbagilah dengan tetanggamu soal pengetahuanmu itu. Tetapi kamu tidak boleh lupa untuk mengamalkan apa-apa yang telah engkau pelajari sendiri dalam kehidupanmu sehari-hari.”

Perlahan-lahan Hussein berjalan pulang menuju kampung halamannya, sambil menafakuri apa yang telah didengarnya pagi itu. Hari mulai gelap saat ia tiba di rumah tuanya. Saat ia memandang lewat jendela rumahnya, dilihatnya istrinya sedang duduk sambil melingkarkan lengannya ke seorang pemuda sambil meremas-remas rambutnya. Ia sangat terkejut dan geram, menduga bahwa istrinya pasti telah menyeleweng selama ia pergi. Ia mengeluarkan pistol yang telah ia bawa untuk menjaga diri dari gangguan perampok. Ketika ia hampir saja menembak kedua orang itu, ia teringat akan pelajaran yang ia terima setahun penuh tentang kesabaran. Membunuh sesama manusia, jelas bukan perkara kecil!

Hussein kemudian memutuskan untuk mengumpulkan bukti-bukti sebelum bertindak. Ia pergi ke masjid desa di mana penduduk desa mulai berkumpul untuk melaksanakan salat maghrib. Seluruh penduduk desa sangat terkesan dengan jubah kesarjanaan yang dipakainya. Mereka memperlakukan dengan penuh rasa hormat. Tidak ada orang yang mengenalnya, dan Hussein pun mulai menanyakan tentang teman-teman lama dan tetanganya dulu. Banyak dari mereka yang lebih tua darinya telah meninggal dunia. Dan teman-temannya rata-rata telah memiliki cucu.

Lalu ia bertanya, ”Bagaimana kabar seorang lelaki bernama Hussein yang telah lama meninggalkan tempat ini, pergi belajar ke negeri seberang?” Salah satu dari mereka menjawab, ”Kami tidak pernah mendengar apapun tentangnya selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir ini. Istrinya mengalami masa-masa yang sulit sepeninggalnya, sehari setelah mereka menikah. Ia hamil malam itu, dan bekerja keras selama ini, menghidupi putera mereka seorang diri. Tanpa mengetahui kabar suaminya apakah pulang atau tidak. Ia telah berhasil membesarkan puteranya menjadi seorang sarjana sebagaimana keinginan suaminya. Kini, puteranya itu adalah guru dan imam kami. Sebentar lagi ia akan datang, untuk memimpin salat maghrib.”

Hussein sangat tersentuh. Air matanya berlinang mengingat perjuangan dan kesetiaan istrinya. Ketika itu, masuklah seorang pemuda berwajah cerah dan tampan mengenakan jubah seorang imam. Pemuda yang sama, yang dilihatnya beberapa saat lalu di rumahnya.

Setelah salat usai, Hussein menghadapkan wajahnya ke arah desa tempat gurunya tinggal dan membungkuk dalam-dalam sambil berucap: ”Beribu-ribu terima kasih dan kiranya rahmat tercurah untukmu, wahai guruku yang tidak ada bandingannya!” Ketika warga desa yang terheran-heran menanyakan tentang sikapnya yang aneh tadi, iapun menceritakan semua kisahnya. Bahwa dialah Hussein yang pergi selama tigapuluh tahun. Dan bagaimana ia telah menghabiskan waktunya selama setahun untuk mempelajari awal kearifan yang telah mencegah sebuah peristiwa yang mengerikan. Ia merangkul anaknya dan bersama-sama pulang ke rumahnya.

***
Saya tidak tahu apakah kisah ini mampu menjawab atau sekaligus menegaskan keraguan kawan saya Andi Harun tentang wujud idealisme simbolik yang kunamai kota kearifan. Tapi sebagaimana awal kearifan itu disebut kesabaran, maka ijinkanlah saya bersembunyi atas nama kesabaran itu sendiri untuk keterlambatan tulisan-tulisan yang lebih otentik dan original.

Kepada Erna ingin kusampaikan bahwa sebuah kisah - atau juga mungkin dongeng - terkadang bisa menjadi "teknologi" ampuh dalam kerangka menyampaikan nilai tertentu. Dengan kisah kita bisa mencermini kehidupan, karena seperti kata Kahlil Gibran, dalam kisah ada drama kehidupan. Ada panggung sandiwara yang di dalamnya manusia belajar dari drama itu. Kenapa? Karena manusia adalah homo fabula, makhluk pengisah, dan sebagian yang lainnya adalah makhluk mimesis, makhluk yang selalu meniru sesuatu yang ia kagumi.

Tapi lebih dari itu semua, hampir semua kitab suci berisi kisah-kisah, terutama sekali kisah masa lalu. Tentang alamnya, tentang kehidupan manusianya di berbagai aspek. Untuk memperingatkan manusia, Tuhan selalu berkisah. Misalnya, untuk mengingatkan manusia akan bahaya totalitarianisme, Tuhan mengisahkan Fir'aun. Untuk mengingatkan soal bahaya kerakusan, maka Dia memunculkan Qorun dan masih banyak lagi.

Saya mengakhiri tulisan ini ketika saya mendengarkan pengumuman di corong masjid dekat rumah saya bahwa seorang warga baru saja meninggal dunia. Innalillah, semoga penutup kisah duniawi tetangga saya itu adalah kisah kebahagiaan menuju akhirat.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar: