24 Desember, 2007

Awal dari Kearifan (1)

Tulisan ini khusus untuk mengapresiasi beberapa sahabat yang kerap mengunjungi blog saya sembari meninggalkan beberapa komentar. Jujur, saya tidak tahu apa yang harus kutuliskan sehubungan dengan kemendesakan yang dilontarkan oleh kawan saya Andi Harun soal isi blog yang tidak pernah beranjak dari tampilan awal.

Karena keterbatasan waktu saya dalam membuat tulisan – apalagi yang berhubungan dengan tema kearifan – yang terlanjur menjadi pilihan tematik di tulisan pembuka blog saya; maka saya memilih untuk mengajak pengunjung bersantai sambil menyimak salah satu kisah klasik Sa’di di bawah ini:



Alkisah, seorang pemuda bernama Hussein menikahi anak tetangganya. Keesokan harinya, setelah malam pengantinnya, dia berkata pada istrinya, ”saya telah berusia duapuluh tahun dan sejujurnya aku tidak tahu apa-apa tentang hal yang berguna. Saya ingin belajar ke kota di mana kearifan dan ilmu pengetahuan dipelajari secara baik. Tolong jaga peternakan dan kedua orang tuaku selama kepergianku. Saya akan pulang setelah berhasil menjadi sarjana.”

Husseinpun pergi ke kota negeri seberang yang perjalanannya menghabiskan waktu berbulan-bulan lamanya. Kemudian selama tiga puluh tahun, ia belajar; berpindah-pindah dari satu guru ke guru lainnya demi mencari ilmu. Pada usia lima puluh tahun, akhirnya ia pulang ke kampung halamannya dengan memakai jubah kesarjanaan peringkat tertinggi.

Dalam perjalanan pulang, ia mampir di sebuah desa yang berjarak tempuh kurang lebih sehari perjalanan dari kampung halamannya. Hari telah menjelang petang dan ia memutuskan singgah di masjid terdekat untuk ikut melaksanakan salat. Para penduduk desa sangat terkesan melihat seorang sarjana terpelajar berada di antara mereka dan merekapun memintanya untuk menyampaikan ceramah singkat selepas salat. Semua orang begitu terpesona dengan kata-kata bijak dan kearifan-kearifan kalimatnya. Setelah ceramah, beberapa penduduk mendatanginya dan mengundangnya bermalam sore itu. Salah seorang bahkan setengah memaksa dan jadilah Hussein setuju untuk bermalam di rumahnya.

Setelah makan malam, tuan rumah bertanya bagaimana ia sampai menjadi sarjana. Husseinpun bercerita tentang perjalanan hidupnya, bagaimana ia meninggalkan keluarganya sehari setelah pernikahannya demi cita-cita kesarjanaannya. Ia ingat saat pergi, usianya baru dua puluh tahun dan ketika pulang ia telah berusian lima puluh tahun. Matanyapun berlinang saat mengenang keluarga dan teman-temannya yang telah sekian lama ditinggalkannya.

Si orang desa berkata. ”Bolehkah saya menanyakan sesuatu?” Hussein menjawab, ”Tentu saja, silakan tanyakan apa saja yang kau mau.” ”Apakah awal dari kearifan?” Hussein menjawab, ”Permulaan dari kearifan adalah meminta pertolongan Tuhan atas segala sesuatu.”

”Bukan, bukan itu awal dari kearifan.”

Hussein berkata, ”Kalau bukan itu, mengucapkan ’Bismillahirrahmanierrahiim’ sebelum melakukan sesuatu adalah awal dari kearifan.”

”Tidak, bukan itu,” jawab si orang desa.

Hussein lalu mengemukakan semua jawaban akademik yang dimilikinya, namun tuan rumah tetap saja menolaknya. Akhirnya, iapun menyerah dan memintanya untuk mengajarinya tentang awal dari kearifan.

Tuan rumah berkata, ”Aku tidak bisa mengajari dalam waktu satu sore sesuatu yang tidak mampu kau pelajari selama tiga puluh tahun. Kulihat kau adalah orang yang tulus dan pintar. Aku yakin akan mampu mengajarimu dalam waktu satu tahun.”

Hussein setuju tinggal bersamanya selama setahun untuk belajar tentang awal dari kearifan.
Keesokan harinya, sang tuan rumah mengajaknya ke ladang. Mereka bekerja begitu kerasnya, sampai-sampai Hussein pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat capai dan keletihan.

Hal ini berlangsung selama setahun penuh. Belum pernah ia bekerja begitu keras dalam hidupnya. Ia melakukan itu semua dengan tujuan untuk belajar tentang awal dari kearifan. Tetapi setiap kali ia bertanya, tuan rumah selalu menyuruhnya menunggu.

Akhirnya, waktu setahun berlalu. Saat mereka pulang ke rumah, kembali Hussein meminta kepada si orang desa untuk mengajarinya tentang awal dari kearifan. Tuan rumah pun berkata bahwa ia akan mengajarinya besok pagi. Hussein membentak, ”Apakah hanya sesingkat itu?” Tuan rumah menjawab, ”Singkat dalam pengucapan, tapi tidak dalam pemahaman.”

Keesokan paginya, setelah sarapan, si orang desa meminta istrinya untuk menyiapkan sekantong makanan termasuk bekal lainnya untuk tamu terhormat mereka. ”Lupakan makanannya,” teriak Hussein. ”Katakanlah padaku, apakah awal dari kearifan?”

”Bersabarlah,” kata tuan rumah yang tetap melanjutkan penyiapan perjalanan Hussein.

”Jangan menipuku!” teriak Hussein. ”Telah kuhabiskan waktu selama setahun bagaikan seekor keledai, hanya untuk mempelajari awal dari kearifan. Apakah itu?”

”Sabar,” ucap tuan rumah sekali lagi.

”Tidak, jangan menghindariku lagi!” jerit Hussein. ”Engkau harus mengatakannya, sekarang juga!”

Si orang desa menjawabnya, ”Ketika aku bertanya kepadamu tentang awal kearifan setahun lalu, engkau tidak mampu menjawabnya. Dan engkau kemudian telah setuju untuk belajar tentang jawabannya selama setahun. Aku telah berusaha penuh selama satu tahun ini untuk mengajarimu tentang kesabaran. Sabar untuk belajar dan belajar untuk sabar. Engkau telah mengalami kesabaran dan itulah yang dinamakan belajar dalam arti yang sebenarnya.”

”Seorang sarjana mentah yang belum mengamalkan apa yang diketahui dalam hidupnya sendiri bagaikan seekor keledai yang membawa setumpuk kitab-kitab agung. Kitab itu tidak memberikan manfaat apapun untuk keledai itu. Dengan kemarahanmu tadi, tampaknya semua yang telah kau pelajari selama ini tidak bermanfaat sedikitpun bagimu.”

(Bersambung)

Tidak ada komentar: