21 Juni, 2008

Pilkada, Machiavelli dan Bunglonisme

Berbagai peristiwa politik khususnya menyangkut Pilkada yang terjadi belakangan ini di Kaltim, telah menggiring kita semua pada satu wacana sentral, yakni wacana tentang bagaimana kekuasaan direbut, dicari, dan dipertahankan. Dan nampaknya, teori tentang kekuasaan yang diwariskan oleh beberapa pemikir masa lampau semakin menemukan pembenaran.
Machiavelli misalnya, memberi nasehat bahwa untuk menjadi penguasa yang baik haruslah mampu memadukan watak singa dan rubah: disegani karena kekuatannya tapi juga sanggup menghadapi tipu daya dan kelicikan. Penguasa atau pencari kekuasaan, lanjutnya, bertindak atas dasar situasi nyata yang sedang dihadapi, bukan pada apa yang seharusnya terjadi. Artinya, berlaku ”jahat” dan ”baik” bergantung situasi. Kepercayaan (trust) dan kebenaran (truth) adalah sesuatu yang temporer, relatif, situasional dan inkonsisten. Satu-satunya yang konsisten hanyalah tujuan yang menghalalkan segala cara (the end justifies the means).


Kita bisa setuju atau tidak setuju dengan statemen tersebut, tapi apa yang kita saksikan dewasa ini memperlihatkan bahwa para pemburu kekuasaan sekarang ternyata jauh lebih cerdik dan kreatif dibanding Machiavelli sendiri. Salah satu yang paling populer adalah munculnya politisi-politisi bunglon yang licin bagai belut dan menjadi benalu di setiap pergumulan politik.

Politik bunglon ditandai dengan simbiosis perilaku yang kompleks antara kepalsuan dengan kebenaran. Dari Pilkada ke Pilkada, kita menyaksikan bagaimana strategi ini dipakai untuk taktik kamuflase dan pengecohan. Tak ada lagi beda antara pemenang dan penelikung, antara provokator dan pengamat, antara penjual obat dan tim sukses, antara penyogok dan penderma dan seterusnya. Pilkada menjadi pagelaran seni menipu melalui keberagaman kepalsuan, kepura-puraan dan keseolah-olahan.

Perilaku bunglon secara telanjang dilakoni politisi dengan kepiawaian mendistorsi sesuatu lewat citra, gejala dan simbol. Semua realitas negatif yang melekat pada dirinya, mampu dikaburkan dengan berbagai operasi simulasi yang dibangun secara artifisial lewat media pencitraan (televisi, koran dan lain-lain). Tidak heran seorang yg dikepung ribuan skandal tiba-tiba saja bisa tampil dengan kesan sangat bersih dan berbudi luhur.

Selain mesin kepalsuan itu, Bunglon juga kerap mengadaptasi sifat benalu. Benalu atau parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam jaringan organisme hidup lainnya, dari mana ia memperoleh makanan untuk hidup.
Kandidat penguasa beserta jaringannya menjadi benalu di semua organisme dan denyut nadi kehidupan masyarakat. Memutarbalikkan prinsip-prinsip hukum, mendistorsi realitas, menyebarkan informasi sesat, memobilisasi simbol, mengeksploitasi nilai-nilai dan menghisap sumber daya ekonomi daerah menjadi ciri operasional dari seluruh pergerakan politiknya.

Muara dari politik predator tersebut adalah terciptanya kehidupan demokrasi yang jauh dari basis moral dan tidak otentik. Hampir semua pemenang pertarungan politik akan selalu dikangkangi dan digerogoti oleh elemen-elemen buruk dan senantiasa menutup diri dari elemen-elemen kebajikan masyarakat.
Mengapa demikian? Karena bersamaan dia merebut kekuasaan, maka bersemai pula kekuatan-kekuatan hitam yang terlanjur menempelnya sebagai parasit ganas.

Kondisi inilah yang oleh Machiavelli disebut situasi nyata. Tapi apakah dengan demikian lantas kita menjadi juru stempel pembenar pada sebuah situasi yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan jahat perusak bangsa atas nama politik kekuasaan? Antonio Gramsci, pemikir Italia lainnya; dengan cerdas menawarkan sebuah situasi lain yang lebih ideal.

Kekuasaan, menurutnya; harus lahir dari sebuah rekrutmen sosial politik yang mumpuni. Sebuah proses yang mekanismenya membuka penyemaian pemimpin-pemimpin baru yang tumbuh dan berkembang dari tempaan seleksi sosial yang panjang. Yang pada akhirnya, kekuasaan dapat direbut atau dipertahankan dengan cara yang lebih cerdas dan manusiawi melalui pertarungan ide, hegemoni gagasan ataupun pengakuan sosial; bukan pertarungan otot dan syahwat sebagaimana yang marak berlangsung saat ini.

Pertarungan kekuasaan melalui hegemoni ide dan pengakuan sosial ini akan menciptakan penguasa yang berdaulat dengan segala otoritas hukum yang melekat pada dirinya; Penguasa yang mampu memaksakan tindakan hukum dengan penuh percaya diri; penguasa yang mampu menyediakan ruang seleksi yang bermutu dan bersih dari rongrongan hantu-hantu bunglon dan parasit politik.

Gagasan ini memerlukan masyarakat yang berkesadaran dan cukup cerdas memahami ide-ide yang ada. Diperlukan masyarakat yang mampu untuk masuk dalam kontes perjibakuan visi. Masyarakat yang pemimpinnya memiliki gagasan besar dan rakyatnya memahami dengan baik visi tersebut. Sebuah masyarakat yang tahu secara persis dari mana sang pemimpin datang dan hendak kemana dia membawa rakyatnya.

Membangun masyarakat berkesadaran politik seperti di atas bukanlah pekerjaan mudah tapi juga tidak mustahil. Setidaknya diperlukan dua hal untuk mendukung gagasaan tersebut. Pertama, adanya pencerahan yang otentik dari institusi publik yang juga otentik. Keberadaan institusi publik (bisa berbentuk LSM, komite-komite aksi, lembaga-lembaga adat, partai politik dan lain-lain) hendaknya mampu dirasakan oleh masyarakat. Kehadirannya haruslah lebih dari pengatasnamaan rakyat belaka ataupun sekadar papan nama atau label. Dia harus mampu mengakomodasi kepentingan publik, menerjemahkannya dan mengartikulasikannya dengan memberi solusi atas rasa kepedulian yang tinggi.
Kedua, munculnya poros baru dalam gerakan pembaharuan masyarakat yang berbentuk persekutuan semesta. Poros ini lahir dengan melakukan penghancuran terhadap batas-batas kategori orde.

Blok ini merekrut (tentu saja rekrutmen yang ketat) setiap individu atau lembaga untuk menghimpun kekuatan dengan fighting spirit yang menggelora, fokus dan senantiasa memiliki energi politik yang berjangka panjang dan permanen. Perhimpunannya horisontal dan juga vertikal, mengakomodasi pluralisme serta memiliki prediksi terencana untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif.

Pada akhirnya kekacauan politik yang ditimbulkan oleh merajalelanya kaum Machiavellian, bunglonisme ataupun parasit politik dapat terimbangi oleh sebuah mesin rakyat yang disebut perlawanan terhadap pembodohan. Ini harus disegerakan sebelum bangsa ini lunglai dengan tubuh tercabik-cabik.

Agenda terpenting dari Pilkada bukanlah sekadar untuk mengganti kepala daerah atau rezim semata, melainkan untuk mengajarkan secara berkala bagaimana proses demokrasi mampu melahirkan dan menyeleksi pemimpin berkualitas yang pro rakyat. Semakin berkualitas proses itu, semakin kuat pula pemimpin yang dihasilkan, sebaliknya semakin buruk proses itu berlangsung maka semakin bobrok pula pemimpin yang dilahirkannya. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar: