19 Desember, 2012

DIALEKTIKA BATIN DI PENGHUJUNG 2012



Sejak awal membuatnya, saya tahu blog ini akan sangat jarang dikunjungi orang secara sengaja. Pertama karena saya sangat tahu bahwa saya bukanlah seorang figur yang pikiran-pikirannya menarik dan dinantikan orang untuk menjadi rujukan. Kedua, mungkin masih terkait dengan yang pertama, minat orang mengunjungi blog orang yang tidak dikenalnya, apalagi blog gratisan seperti ini agak rendah. Maka, jika ada sahabat yang membaca tulisan ini saya sangat percaya bahwa Tuhanlah yang menuntun untuk mempertemukannya tanpa sengaja. Sama ketika Tuhan mempertemukan saya dengan sebuah inspirasi, pertanyaan-pertanyaan, jawaban, lalu kembali ke pertanyaan baru. Jadi, kepada sahabat yang membaca tulisan ini, siapa pun Anda dan di mana pun gerangan adanya, ingin saya katakan bahwa saat ini, kita berada dalam sebuah jejaring implikasi pertemuan yang Tuhan desain dengan sangat canggih.

Terkadang saat bertemu dengan sebuah inspirasi, saya merasa bersalah jika tidak menuliskan atau mentransfernya ke orang lain meskipun hanya lewat obrolan-obrolan. Padahal inspirasi itu lebih sering saya dapatkan sebagai persambungan dari inspirasi orang lain. Bisa lewat omongan, buku, atau tulisan-tulisan yang bertebaran di berbagai jejaring dunia maya. Setiap menemukan inspirasi dari pengembangan inspirasi orang lain, saya selalu teringat bahwa sejatinya, setiap kalimat baik dari mana pun datangnya hanyalah sebuah garis bawah dari apa yang sudah kita ketahui di dasar hati atau di struktur logika kita. Lewat kesadaran ini, akhirnya saya katakan bahwa desain Tuhan yang bernama manusia ini bukanlah sebuah ciptaan yang main-main. Dengan segala kelebihan dan “kekuatan” yang dimilikinya, manusia memang layak menjadi tema sentral di jagad raya ini. Kita adalah setumpuk kitab yang perlu secara terus menerus dibuka dan dibaca. Melalui tulisan-tulisan, perbincangan dan suara sunyi di masing-masing kita saat berpikir dan merenung, saat itulah kita sebenarnya sedang membaca. Inilah mungkin sebagian pengamalan dari Iqro' bismirobbikalladzi kholaq (Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan). Wallahu a’lam.

Bacaan atau juga tulisan jiwa merupakan aksara pengembaraan yang menampung perasaan, pengalaman, dan yang lebih penting hasil pemahaman seseorang dari dialektika batinnya. Bila saya menuliskan sesuatu di sini, maka mungkin saja akan mengoreksi tulisan saya yang lama, atau menambahinya dengan tulisan yang baru. Karena demikianlah adanya sebuah pengembaraan: penuh dinamika yang salah satunya diakibatkan oleh munculnya dialektika batin yang baru atau kesimpulan intelektual yang baru pula. Maka sahabat saya yang entah siapa namanya yang membaca tulisan ini, mari terus membaca dan memperbaharui setiap kesimpulan-kesimpulan. Karena Tuhan menciptakan kesimpulan duniawi selalu dalam relatifitasnya, sementara dan penuh dinamika. Karena lewat hal itulah Tuhan menegaskan kebenaran absolutNYA yang monopolistik.

Saya menghela nafas. Lalu melihat seekor semut yang merayap naik di selah laptop. Tuhan tak menciptakan sesuatu secara sia-sia, begitu sering kita mendengar ceramah.  Mengungkap sebuah pesan kebenaran seekor semut saja tidak cukup untuk kita tuangkan dalam prosa sepanjang apapun jua. Apa lagi mencoba menggugat absolutieme Tuhan. Karena itu mungkin maka kita lebih banyak mengemasnya dalam metafora-metafora pendek sebagai pengakuan begitu kerdilnya kita di depan kemahabesaranNYA.

Tapi satu saja yang saya ingin katakan, bahwa betapapun saya dan anda seringkali dalam hidup ini bertanya dan mencari-cari makna kesejatian diri, makna hidup, dan berbagai hal lainnya, agaknya kita mesti sependapat bahwa dalam pencarian itu kita berjalan dalam sebuah skenario besar yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Boleh jadi sebuah peristiwa yang kecil yang sangat sepele akan menjadi variabel penting sebuah kejadian besar. Teori ini pernah dimunculkan oleh seorang ilmuwan yang saya lupa namanya. Teorinya disebut “The Butterfly Effect”.  Menurut teori ini, sebuah kepakan sayap kupu-kupu di hutan Kalimantan misalnya, boleh jadi akan menjadi variabel sangat menentukan dan tak bisa diabaikan dari apakah beberapa bulan kemudian akan terjadi perang baru di kawasan Timur Tengah. Dalam sebuah perhitungan rumit dan panjang, ilmuwan hebat ini menghitung dengan pola differensial non linear tentang bagaimana hubungan sebuah hal sepele dengan kejadian-kejadian besar. Saya tak mampu mengurai teori ini secara matematika numerik, karena selain rumit, matematika saya juga kadang kacau.

Saya tertegun dan bertanya pada diri sendiri, sebegitu sistemiknyakah alam raya ini? Sungguh mengagumkan. Pikiran saya berseliwerang dan terpantul-pantul kesana kemari. Jika sebuah “hal sepele” menjadi variabel sama pentingnya dengan kejadian besar di dunia ini, maka dalam perspektif  kosmologi, andai saja sebuah dauh kering yang jatuh terlambat menyentuh bumi dua detik saja, mungkinkah akan berpengaruh pada keseimbangan bumi? Berangkat dari teori ini bisa saja demikian.
Boleh kita setuju atau mendebat teori ini. Tapi saya memilihnya untuk percaya dan mengambil hikmah dan membayangkan beberapa kejadian di seputar saya. Beberapa waktu lalu jembatan Kutai Kartanegara runtuh. Seorang kawan selamat dari kecelakaan itu karena mampir untuk menerima sebuah panggilan telepon. Waktu yang terpakai kurang dari satu menit itu menyelamatkannya kurang lebih 30 meter dari mulut jembatan yang ambruk dengan suara bergemuruh.

Saya ingin sedikit mendramatisasi cerita itu dengan berandai-andai. Begitu banyak variabel kecil yang telah menyelamatkan kawan itu. Dia bercerita bahwa yang meneleponnya adalah istrinya yang saat itu sedang minta dibelikan obat diare. Istrinya mencret setelah makan tahu tek seharga 6 ribu rupiah yang sering lewat depan rumah. Andai saja tak ada tahu tek, tak ada uang 6 ribu untuk membelinya, tentu sang istri tak akan bertemu dengan cabe kecil pedas yang membuatnya mencret lalu menelepon suaminya. Variabel  kecil yang benama cabe rawit itu bersama variabel lainnya telah bekerja sedemikian rupa sehingga kawan kita itu tidak bertemu celaka. Kalau kita mau teruskan dramatisasi ini, kita bisa menelusuri asal muasal cabe itu runut ke belakang. Di mana tumbuhnya, siapa yang tanam dan seterusnya. Boleh jadi cabe itu tumbuh sendiri. Bijinya dari kotoran burung, jatuh ke tanah, berbuah lalu dipetik oleh penjual tahu. Hehe.. Teori butterfly effect itu berlangsung di sekitar dan mengajarkan jangan pernah kita menyepelekan peristiwa atau gejala kecil.

Pertanyaan besarnya adalah kalau peristiwa kecil saja seperti kepak sayap kupu-kupu, kotoran burung atau jatuhnya sehelai daun kering ke bumi memiliki implikasi luas maka bagaimanakah kita bisa mengurai hikmah dan pesan hidup yang demikian kompleks dan rumitnya? Tapi bukankah kita hidup bukanlah untuk memahami semuanya. Karena Socrates sendiri berkata setelah demikian lama dia mengejar kebenaran ilmu bahwa “Yang aku tahu adalah saya tidak tahu apa-apa”.  Kalimat ini adalah pengakuan bahwa takkan mungkin manusia mampu mengurai kompleksitas alam secara tuntas. Ia disediakan salah satunya adalah untuk ranah di mana manusia berjalan, mencari, bersekolah, berteka-teki tapi lalu akhirnya tersingkap kesadaran bahwa kebenaran hakiki adalah milik Sang Pencipta Alam Semesta.

Syech Bawa Muhaiyaddeen pernah berkata pada muridnya, “Tuhan berkata, AKU mengirimmu ke sekolah bernama dunia. Ia hanyalah tempat sementara. Kau harus pergi ke sana untuk sementara waktu untuk belajar mengenai sejarah-Ku, sejarahmu, dan sejarah lainnya. Kau harus mengerti siapa yang menciptakan segala sesuatu, siapa yang bertanggungjawab terhadap segala sesuatu, siapa Penjaga yang menjaga dirimu, dan apa milikmu yang sesungguhnya. Ketika kau telah belajar dan mengerti semua sejarah-sejarah ini, kau akan menyadari siapa dirimu dan siapakah Dia yang kau butuhkan, Sang Kebenaran, Dia Yang Maha Hidup.”

Lalu, berapa lama hikmah dari suatu kejadian baru bisa kita fahami? Sebagian orang -dan saya termasuk dalam bagian ini- membutuhkan rentang waktu yang panjang, penantian yang lama. Barulah, pada akhirnya nanti, saya mengerti hikmah kejadian yang saya alami. Ada orang-orang yang lebih ‘berilmu’ lagi, disingkapkan kepada mereka oleh Tuhan, hikmah dari sebuah kejadian, lebih cepat dari orang-orang awam seperti kita. Berjalanlah terus diriku, rekan-rekanku. Seperti para guru-guru kearifan kita di masa lalu.

Kini, kita berada di penghujung tahun 2012. Boleh jadi kita akan bertemu di tahun depan dengan cerita yang berbeda, pertemuan yang tak di sengaja atau persinggungan yang tak terduga. Percayalah, itu bukan sebuah kebetulan. Semua sudah menjadi sebuah rangkaian yang terkait satu sama lainnya. Hidup adalah satu dentuman dari “kun fa ya kun” yang bekerja dalam kontinum ruang waktu. Bekerjalah dalam sunnah kausalitas itu sebagai hamba yang taat dan tertib.

Nuun, walqolami wamaa yasthuruun..
“Demi pena dan apa yang mereka tuliskan”

Tidak ada komentar: